Monday, October 6, 2014

Teori-teori Perkembangan Kota



A. TEORI KONSENTRIS (THE CONSENTRIC THEORY) 

Teori ini dikemukakan oleh E.W. Burgess (Yunus, 1999), atas dasar tudy kasusnya mengenai morfologi kota Chicago, menurutnya sesuat kota yang besar mempunyai kecenderungan berkembang ke arah luar di semua bagian-bagiannya. Masing-masing zona tumbuh sedikit demi sedikit ke arah luar. Oleh karena semua bagian-bagiannya berkembang ke segala arah, maka pola keruangan yang dihasilkan akan berbentuk seperti lingkaran yang berlapis-lapis, dengan daerah pusat kegiatan sebagai intinya. 

Secara berurutan, tata ruang kota yang ada pada suatu kota yang mengikuti suatu pola konsentris ini adalah sebagai berikut: 

a. Daerah Pusat atau Kawasan Pusat Bisnis (KPB). 
Daerah pusat kegiatan ini sering disebut sebagai pusat kota. Dalam daerah ini terdapat bangunan-bangunan utama untuk melakukan kegiatan baik sosial, ekonomi, poitik dan budaya. Contohnya : Daerah pertokoan, perkantoran, gedung kesenian, bank dan lainnya. 

b. Daerah Peralihan. 
Daerah ini kebanyakan di huni oleh golongan penduduk kurang mampu dalam kehidupan sosial-ekonominya. Penduduk ini sebagian besar terdiri dari pendatang-pendatang yang tidak stabil (musiman), terutama ditinjau dari tempat tinggalnya. Di beberapa tempat pada daerah ini terdapat kegiatan industri ringan, sebagai perluasan dari KPB. 

c. Daerah Pabrik dan Perumahan Pekerja. 
Daerah ini di huni oleh pekerja-pekerja pabrik yang ada di daerah ini. Kondisi perumahannya sedikit lebih buruk daripada daerah peralihan, hal ini disebabkan karena kebanyakan pekerja-pekerja yang tinggal di sini adalah dari golongan pekerja kelas rendah. 

d. Daerah Perumahan yang Lebih Baik Kondisinya. 
Daerah ini dihuni oleh penduduk yang lebih stabil keadaannya dibanding dengan penduduk yang menghuni daerah yang disebut sebelumnya, baik ditinjau dari pemukimannya maupun dari perekonomiannya. 

e. Daerah Penglaju. 
Daerah ini mempunyai tipe kehidupan yang dipengaruhi oleh pola hidup daerah pedesaan disekitarnya. Sebagian menunjukkan ciri-ciri kehidupan perkotaan dan sebagian yang lain menunjukkan ciri-ciri kehidupan pedesaan, Kebanyakan penduduknya mempunyai lapangan pekerjaan nonagraris dan merupakan pekerja-pekerja penglaju yang bekerja di dalam kota, sebagian penduduk yang lain adalah penduduk yang bekerja di bidang pertanian. 


B. TEORI SEKTOR 
Teori sector ini dikemukakan oleh Homer Hoyt (Yunus, 1991 & 1999), dinyatakan bahwa perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di dalam suatu kota, berangsur-angsur menghasilkan kembali karakter yang dipunyai oleh sector-sektor yang sama terlebih dahulu. Alasan ini terutama didasarkan pada adanya kenyataan bahwa di dalam kota-kota yang besar terdapat variasi sewa tanah atau sewa rumah yang besar. Belum tentu sesuatu tempat yang mempunyai jarak yang sama terhadap KPB akan mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang sama, atau belum tentu semakin jauh letak atau tempat terhadap KPB akan mempunyai nilai sewa yang semakin rendah. Kadang-kadang daerah tertentu dan bahkan sering terjadi bahwa daerah-daerah tertentu yang letaknya lebih dekat dengan KPB mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang lebih rendah daripada daerah yang lebih jauh dari KPB. Keadaan ini sangat banyak dipengaruhi oleh factor transportasi, komunikasi dan segala aspek-aspek yang lainnya. 
1. Pertumbuhan Vertikat, yaitu daerah ini dihuni oleh struktur keluarga tunggal dan semakin lama akan didiami oleh struktur keluarga ganda. Hal ini karena ada factor pembatas, yaitu : fisik, social, ekonomi dan politik. 
2. Pertumbuhan Memampat, yaitu apabila wilayah suatu kota masih cukup tersedia ruang-ruang kosong untuk bangunan tempat tinggal dan bangunan lainnya. 
3. Pertumbuhan Mendatar ke Arah Luar (Centrifugal), yaitu biasanya terjadi karena adanya kekurangan ruang bagi tempat tinggal dan kegiatan lainnya. Pertumbuhannya bersifat datar centrifugal, karena perembetan pertumbuhannya akan kelihatan nyata pada sepanjang rute transportasi. Pertumbuhan datar centrifugal ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : 

A. Pertumbuhan Datas Aksial, pertumbuhan kota yang memanjang ini terutama dipengaruhi oleh adanya jalur transportasi yang menghubungkan KPB dengan daerah-daerah yang berada diluarnya. 
B. Pertumbuhan Datar Tematis, pertumbuhan lateral suatu kota tipe ini tidak mengikuti arah jalur transportasi yang ada, tetapi lebih banyak dilatarbelakangi oleh keadaan khusus, sebagai cintih yaitu dengan didirikannya beberapa pusat pendidikan, sehingga akan menarik penduduk untuk bertempat tinggal di daerah sekitarnya. Di lingkungan pusat kegiatan yang beru ii akan timbul suatu suasana perkotaan yang secara administrative mungkin terpisah dari kota yang ada. Oleh karena jarak antara pusast kegiatan yang baru dengan daerah perkotaan yang lama biasanya tidak terlalu jauh, maka pertumbuhan selanjutnya adalah pada pusat yang lama dengan pusat yang baru akan bergabung menjadi satu. 
C. Pertumbuhan Datar Kolesen, perkembangan lateral ketiga ini terjadi karena adanya gabungan dari perkembangan tipe satu dan dua. Sehubungan dengan adanya perkembangan yang terus-menerus dan bersifat datar pada kota (pusat kegiatan), maka mengakibatkan terjadinya penggabungan pusat-pusat tersebut satu kesatuan kegiatan. 

Perumusan Kriteria Liveable Cities Yang Terdiri Dari 8 Variabel Dan 35 Kriteria Sebagai Berikut : (Symposium Iap 2008) 
1. Fisik Kota : Tata ruang, arsitektur, RTH, ciri dan karakter budaya lokal 
2. Kualitas Lingkungan : kebersihan kota dan tingkat pencemaran. 
3. Transportasi-Aksesibilitas : angkutan umum, kualitas jalan, waktu tempuh ke tempat         aktivtas, pedestrian. 
4. Fasilitas : Fasilitas kesehatan, pendidikan, peribadatan, rekreasi, taman kota. 
5. Utilitas : Air bersih, listrik, telekomunikasi 
6. Ekonomi : tingkat pendapatan, biaya hidup, ramah investasi 
7. Sosial : Ruang publik, ruang kreatif, interaksi sosial, kriminalitas, tingkat kesetaraan         warga kota, partisipasi warga, dukungan terhadap orang tua, penyandang cacat, dan         wanita hamil. 
8. Birokrasi dan Pemerintahan : Leadership yang kuat, dukungan kebijakan, kepastian           hukum, akuntabilitas pemerintah, tingkat penerapan rencana kota, dukungan program       pembangunan, dukungan pembiayaan. 


C. TEORI PERTUMBUHAN KOTA 
Menurut Spiro Kostof (1991), Kota adalah Leburan Dari bangunan dan penduduk, sedangkan bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya yang tertentu. Bentuk kota ada dua macam yaitu geometri dan organik.Terdapat dikotomi bentuk perkotaan yang didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu Planned dan Unplanned. 

§ Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad pertengahan dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan bentuk geometrik. 

§ Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota metropolitan, dimana satu segmen kota berkembang secara sepontan dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut dengan organik pattern, bentuk kota organik tersebut secara spontan, tidak terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan non geometrik. 

Elemen-elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh kostol dianalogikan secara biologis seperti organ tubuh manusia, yaitu : 
1. Square, open space sebagai paru-paru. 
2. Center, pusat kota sebagai jantung yang memompa darah (traffic). 
3. Jaringan jalan sebagai saluran arteri darah dalam tubuh. 
4. Kegiatan ekonomi kota sebagai sel yang berfikir. 
5. Bank, pelabuhan, kawasan industri sebagai jaringan khusus dalam tubuh. 
6. Unsur kapital (keuangan dan bangunan) sebagai energi yang mengalir ke seluruh sistem perkotaan. 

Dalam suatu kota organik, terjadi saling ketergantungan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Contohnya : jalan-jalan dan lorong-lorong menjadi ruang komunal dan ruang publik yang tidak teratur tetapi menunjukkan adanya kontak sosial dan saling menyesuaikan diri antara penduduk asli dan pendatang, antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Perubahan demi perubahan fisik dan non fisik (sosial) terjadi secara sepontan. Apabila salah satu elemnya terganggu maka seluruh lingkungan akan terganggu juga, sehingga akan mencari keseimbangan baru. Demikian ini terjadi secara berulang-ulang. 

Menurut Kevin Lynch (1981), definisi model organik atau kota biologis adalah kota yang terlihat sebagai tempat tinggal yang hidup, memiliki ciri-ciri kehidupan yang membedakannya dari sekedar mesin, mengatur diri sendiri dan dibatasi oleh ukuran dan batas yang optimal, struktur internal dan perilaku yang khas, perubahannya tidak dapat dihindari untuk mempertahankan keseimbangan yang ada, menurutnya bentuk fisik organik : 

§ Membentuk pola radial dengan unit terbatas. 
§ Memiliki focused centre. 
§ Memiliki lay out non geometrik atau cenderung romantis dengan pola yang membentuk     lengkung tak beraturan. 
§ Material alami. 
§ Kepadatan sedang sampai rendah. 
§ Dekat dengan alam 

Di dalam model organik ini, organisasi ruang telah membentuk kesatuan yang terdiri dari unit-unit yang memiliki fungsi masing-masing. Kota terbentuk organik mudah untuk mengalami penurunan kualitas karena perkembangannya yang spontan, tidak terencana dan sepotong-sepotong. Masyarakat penghuni kota ini bermacam-macam yang merupakan percampuran antara berbagai macam manusia dalam suatu tempat yang memiliki keseimbangan. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, saling menyimpang tetapi juga saling mendukung satu sama lain. Kota organik memiliki ciri khas pada kerjasama pemeliharan lingkungan sosial oleh masyarakat. 


E. ELEMEN-ELEMEN FISIK KOTA 
Dalam desain perkotaan (Shirvani, 1985) terdapat elemen-elemen fisik Urban Design yang bersifat ekspresif dan suportif yang mendukung terbentuknya struktur visual kota serta terciptanya citra lingkungan yang dapat pula ditemukan pada lingkungan di lokasi penelitian, elemen-elemen tersebut adalah : 

a. Tata Guna Tanah 
Tata guna lahan dua dimensi menentukan ruang tiga dimensi yang terbentuk, tata guna lahan perlu mempertimbangkan dua hal yaitu pertimbangan umum dan pertimbangan pejalan kaki (street level) yang akan menciptakan ruang yang manusiawi. 

Peruntukan lahan suatu tempat secara langsung disesuaikan dengan masalah-masalah yang terkait, bagaimana seharusnya daerah zona dikembangkan, Shirvany mengatakan bahwa zoning ordinace merupakan suatu mekanisme pengendalian yang praktis dan bermanfaat dalam urban design, penekanan utama terletak pada masalah tiga dimensi yaitu hubungan keserasin antar bangunan dan kualitas lingkungan. 

Jika kita melihat dilokasi penelitian bisa dilihat dari zona mitigasi tiap-tiap wilayah kaitanya dalam menyiapkan daerah yang masuk dalam wilayah bencana alam siap menghadapinya dan juga membentuk kualitas hidup lingkungan dan bersifat kawasan yang manusiawi. 

b. Bentuk dan Massa Bangunan 
Menyangkut aspek-aspek bentuk fisik karena setting, spesifik yang meliputi ketinggian, besaran, floor area ratio, koefisien dasar bangunan, pemunduran (setback) dari garis jalan, style bangunan, skala proporsi, bahan, tekstur dan warna agar menghasilkan bangunan yang berhubungan secara harmonis dengan bangunan-bangunan lain disekitarnya. 

Prinsip-prinsip dan teknik Urban Design yang berkaitan dengan bentuk dan massa bangunan meliputi : 
1. Scale, berkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi dan dimensi bangunan sekitar. 
2. Urban Space, sirkulasi ruang yang disebabkan bentuk kota, batas dan tipe-tipe ruang. 
3. Urban Mass, meliputi bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang dapat tersusun untuk membentuk urban space dan pola aktifitas dalam skala besar dan kecil. 


c. SIRKULASI DAN PARKIR 
Elemen sirkulasi adalah satu aspek yang kuat dalam membentuk struktur lingkungan perkotaan, tiga prinsip utama pengaturan teknik sirkulasi adalah : 
1. Jalan harus menjadi elemen ruang terbuka yang memiliki dampak visual yang positif. 
2. Jalan harus dapat memberikan orientasi kepada pengemudi dan membuat lingkungan         menjadi jelas terbaca. 
3. Sektor publik harus terpadu dan saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. 


d. RUANG TERBUKA 
Ian C. Laurit mengelompokkan ruang terbuka sebagai berikut : 
1. Ruang terbuka sebagai sumber produksi. 
2. Ruang terbuka sebagai perlindungan terhadap kekayaan alam dan manusia (cagar alam,     daerah budaya dan sejarah). 
3. Ruang terbuka untuk kesehatan, kesejahteraan dan kenyamanan. 

Ruang terbuka memiliki fungsi : 
1. Menyediakan cahaya dan sirkulasi udara dalam bangunan terutama di pusat kota. 
2. Menghadirkan kesan perspektif dan visa pada pemandangan kota (urban scane)                 terutama dikawasan pusat kota yang padat. 
3. Menyediakan arena rekreasi dengan bentuk aktifitas khusus. 
4. Melindungi fungsi ekologi kawasan. 
5. Memberikan bentuk solid foid pada kawasan. 
6. Sebagai area cadangan untuk penggunaan dimasa depan (cadangan area                             pengembangan). 


Aspek pengendalian ruang terbuka pusat kota sebagai aspek fisik, visual ruang, lingkage dan kepemilikan dipengaruhi beberapa faktor : 
1. Elemen pembentuk ruang, bagaimana ruang terbuka kota yang akan dikenakan (konteks tempat) tersebut didefinisikan (shape, jalan, plaza, pedestrian ways, elemen vertikal). 
2. Faktor tempat, bagaimana keterkaitan dengan sistem lingkage yang ada. 
3. Aktifitas utama. 
4. Faktor comfortabilitas, bagaimana keterkaitan dengan kuantitas (besaran ruang, jarak pencapaian) dan kualitas (estetika visual) ruang. 
5. Faktor keterkaitan antara private domain dan public domain. 


e. JALUR PEJALAN KAKI 
Sistem pejalan kaki yang baik adalah : 
1. Mengurangi ketergantungan dari kendaraan bermotor dalam areal kota. 
2. Meningkatkan kualitas lingkungan dengan memprioritaskan skala manusia. 
3. Lebih mengekspresikan aktifitas PKL mampu menyajikan kualitas udara. 


f. ACTIVITY SUPPORT 
Muncul oleh adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum kota dengan seluruh kegiatan yang menyangkut penggunaan ruang kota yang menunjang akan keberadaan ruang-ruang umum kota. Kegiatan-kegiatan dan ruang-ruang umum bersifat saling mengisi dan melengkapi. 


Pada dasarnya activity support adalah : 

1 Aktifitas yang mengarahkan pada kepentingan pergerakan (importment of movement).
2 Kehidupan kota dan kegembiraan (excitentent). 

Keberadaan aktifitas pendukung tidak lepas dari tumbuhnya fungsi-fungsi kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang-ruang umum kota, semakin dekat dengan pusat kota makin tinggi intensitas dan keberagamannya. 

Bentuk actifity support adalah kegiatan penunjang yang menghubungkan dua atau lebih pusat kegiatan umum yang ada di kota, mislnya open space (taman kota, taman rekreasi, plaza, taman budaya, kawasan PKL, pedestrian ways dan sebagainya) dan juga bangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan umum. 


g. Simbol Dan Tanda 
Ukuran dan kualitas dari papan reklame diatur untuk : 
1. Menciptakan kesesuaian. 
2. Mengurangi dampak negatif visual. 
3. Dalam waktu bersamaan menghilangkan kebingungan serta persaingan dengan tanda lalu lintas atau tanda umum yang penting. 
4. Tanda yang didesain dengan baik menyumbangkan karakter pada fasade bangunan dan menghidupkan street space dan memberikan informasi bisnis. 
5. Dalam urban design, preservasi harus diarahkan pada perlindungan permukiman yang ada dan urban place, sama seperti tempat atau bangunan sejarah, hal ini berarti pula mempertahankan kegiatan yang berlangsung di tempat itu. 


Sumber: "Teori-teori Pengembangan Kota". 6 Oktober 2014. http://pengembanganperkotaan.wordpress.com/2011/11/09/teori-teori-perkembangan-kota/ 



ASPI

Planologi, terbentuk dari dua kata yaitu plano dan logos. Plano artinya rencana, sedangkan logos artinya ilmu. Jadi, pengertian Planologi secara keseluruhan adalah ilmu yang mempelajari tentang perencanaan dan penataan kota dan wilayah. Ada yang tahu ASPI ga teman-teman? Berhubungan banget lho sama planologi. ASPI adalah Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia. Kita harus tahu nih seluk beluk ASPI, coba yuk baca bareng-bareng!


Tentang ASPI


JATI DIRI ASPI

Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI) adalah suatu asosiasi sebagai wadah sekolah pendidikan tinggi perencanaan yang dengan semangat kebersamaan dan kesetaraan bertujuan untuk bekerjasama secara berkelanjutan dalam mendidik, meneliti, dan mengembangkan ilmu perencanaan yang berkarakter, berpandangan sistemik komprehensif, holistic, memiliki kemampuan preskriptif ke masa depan dalam “menyele­saikan” masalah-masalah pembangunan wilayah dan kota berdimensi ruang dan waktu,dalam mewujudkan kesejahteraan bangsa dan negara yang bermartabat.


SEJARAH ASPI

Kerjasama Antar Pendidikan Tinggi Perencanaan di Indonesia sebagai awal pendirian ASPI

Melalui penelusuran arsip yang tersimpan di Jurusan Teknik Planologi ITB direkonstruksi kembali bentuk ker­jasama yang pernah berlangsung antar Jurusan Planologi (tahun 1960’an) yang kemudian berkembang menjadi Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota (1970’an) dengan berbagai Program Sudi yang sama di Perguruan Tinggi lainnya di Indonesia. Lintasan sejarah kerjasama ini diharapkan memberikan manfaat pada pencerahan arti kerjasama tersebut kepada kita semua yang terlibat di dalam penyelenggaraan pendidikan perencanaan wilayah dankota dan program studi yang terkait, serta kepada pihak-pihak yang membuatkebijakan atas pen­didikan perencanaan di Indonesia. Bentuk manfaat bisa berupa introspeksi diri melintasi ruang dan waktu, tentang kemampuan dan keterbatasan dalam bekerja sama mengingat Indonesia secara geografis terbentang sedemikian luas sehingga jarak bisa merupakan salah satu kendala serta perjalanan waktu yang tidak cermat di­catat. Semangat kerjasama itu harus tetap ada sejalan dengan dinamikannya semangat kesatuan dan persatuan bangsa menatap masa depan yang lebih baik, dimana pengembangan pendidikan perencanaan di Indonesia adalah misi utamanya.


Kerjasama Antar Sekolah Perencanaan Wilayah dan Kota

Pertemuan Informal Ketua-Ketua Jurusan Planologi di ITB pada tahun 1970’an dalam bentuk forum komunikasi para wakil Jurusan Planologi PerguruanTinggi Swasta (Unisba, Unpak, Unpas, Itenas), membahaskisi-kisi ujian negara yang wajib diselenggarakan oleh PTS pada tiap semester. Tetapi, pada pertemuan tersebut juga disisip­kan bahan diskusi lain yang memberikan manfaat lebih besar bagi staf yang tidak terkait dengan masalah ujian negara. Pembicara tamu sering diundang, terutama untuk memberikan pandangan tentang praktek perenca­naan yang berpengaruh terhadap pendidikan.

Dalam pertemuan rutin antara dosen-dosen PL-ITB dengan beberapa wakil Jurusan Planologi dari PTS di ITB pada tanggal 7 bulan Nopember tahun 1987 tercapai kesepakatan untuk lebih memformalkan bentuk perte­muan antar-Jurusan itu ke dalam suatu Forum. Pada waktu tersebut, wakil-wakilProgram Studi Teknik Planologi dan Perencanaan Wilayah dan Kota sepakat membentuk Forum Komunikasi antar JurusanPlanologi Perguruan Tinggi Swasta dan Jurusan Teknik Planologi ITB. Kesepakatan itu ditanda-tanagni oleh 6 orang perwakilan dari beberapa Perguruan Tinggi yaitu Bambang Bintoro (ITB), Norma Nugroho(UNISBA), Soedarto S(Univ.Pakuan), Tb. M. Rais(ITI), Didi Rasidi(Univ.Krisnadwipayana), Raphael Sotang(ITN Malang). Dalam perkembangan selan­jutnya Forum Komunikasi ini disebutsebagai Forum Nasional Pendidikan Planologi (FNPP) untuk memberikan tanggapan sehubungan dengan berdirinya beberapa program studi (Prodi) planologi di universitas/ institut di berbagai daerah di luar Jawa.

Pertemuan Bergilir FNPP dalam mengisi kegiatan kerjasama dan interaksi antar Prodi yang berupa pertemuan-pertemuan atau seminar untuk membahas masalah-masalah pendidikan dan praktek perencanaan disepakati untuk diupayakan secara bergiliran antar anggota Perguruan Tinggi, namun dalam prakteknya lebih banyak diselenggarakan di Bandung dan terutama di ITB. Usaha untuk mengadakan pertemuan keluar dari Bandung sangat terbatas. Oleh karena Pertemuan Agustus 1993, di UNDIP-Semarang dianggap sebagai moment pent­ing menunjukkan eksistensi FPNN yang makin kuat dan makin meluas. Pada kesempatan itu ITB menghadirkan pembicara Djoko Sujarto, Tommy Firman dan Mochtarram Karjoedi dengan tema pembahasan adalah “Evaluasi dan Perkembangan Pendidikan Planologi di Indonesia”, dan usulan perluasan anggota Forum ke Program Studi S-2:

Pada tanggal 5 Nopember 1994 dalam rangka pelatihan “Participatory Methods in Social Research and Devel­opment Planning” di ITB yang disponsori oleh PMPW-GTZ dan dengan peserta dari perwakilan sekolah anggota Forum dan wakil-wakil dari prodi S-2 Perencanaan, seperti IPB, USU, Andalas, UGM dan UNHAS, pihak ITB mengajak kepada Prodi S-2 Perencanaan Wilayah untuk bergabung dengan FNPP. Pembicaraan usaha perluasan Forum kemudian dilanjutkan pada Diskusi Kurikulum Nasional, 26 Juni 1995 di ITB yang dihadiri oleh wakil2 dari IPB, Andalas dan Unhas. Pada tahun 1995, Konsorsium Teknologi dari DIKTI meminta kepada Jurusan-jurusan Perguruan Tinggi Negri untuk mempersiapkan rancangan Kurikulum Nasional untuk masing-masing program pendidikan yang diselenggarakannya. Menanggapi hal itu, pihak Jurusan Planologi-ITB kemudian membuat undangan kepada anggota FNPP. Hadir dalam kesepakatan dan pembuatan keputusan tentang rancangan Kurikulum Nasional untuk Program Studi Perencanaan Wilayah adalah 11 Jurusan Planologi dari berbagai Per­guruan Tinggi, yaitu: ITB, U.Pakuan (Bogor), UNDIP (Semarang), ITENAS (Bandung), U.Pasundan (Bandung), ITN-Malang, U.Bung Hatta (Padang), UNISBA (Bandung), ITI (Jakarta), UnKrisnadwipayana (Jakarta), UnWinaya Mukti (Bandung). Universitas 45 (Makassar – mengirim surat menyatakan tidakbisa hadir dalam pertemuan tersebut). Keberlakuan Kurikulum Nasional yang menjadi Surat Keputusan Menteri pada tahun 1996mengubah nama FNPP menjadi Forum Nasional Pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota (FNP-PWK).


ASOSIASI SEKOLAH PERENCANAAN INDONESIA (ASPI)

Salah satu kesimpulan studi NAS-SOP yang sangat penting adalah perlunya pengumpulan sumber daya pro­gram-program pendidikan perencanaan sebagai wahana bagi diskursus dan upaya pengembangan pemikiran dan praktek perencanaan, termasuk pendidikan perencanaan. Di samping itu diperlukan pula suatu upaya yang meluas untuk “memproklamasikan,” atau lebih tepat “menyatakan diri lagi,” profesi dan pendidikan perenca­naan sebagai suatu disiplin yang spesifik dan sangat dibutuhkan dalam upaya pengembangan dan pembangu­nan bangsa kita.

Dalam presentasi hasil studi NAS-SOP yang diselenggarakan pada tanggal 30 Maret 2000 di hotel Century Atlit, Senayan, Jakarta, telah disepakati oleh 7 program pendidikan perencanaan tingkat S2 di perguruan tinggi neg­eri, yaitu di ITB, UGM, UNHAS, IPB, UNAND, USU, dan UNDIP untuk mendirikan suatu asosiasi sekolah-sekolah perencanaan yang dinamai ASPI (Asosiasi SekolahPerencanaan Indonesia). (Sumber: Buku Profil ASPI, 2013).


Sumber: "Tentang ASPI". 5 Oktober 2014. http://aspi.or.id/?page_id=260

Saturday, October 4, 2014

Bonjour!

Bonjour! Hai! :D Aku ga bisa bahasa Prancis sih sebenernya, gaya aja. Btw, pertama kalinya nih aku punya blog. Kenalannya liat profil aku aja ya. Blog ini akan diisi buanyaak cerita (aamiin) tentang Planologi. Udah pernah denger apa baru denger nih istilah Planologi? Sekarang sih disebutnya PWK... Makanya pantengin ya blog ini! Ikutin terus walapun penulisnya jarang-jarang gitu sempet nulis (loh?) haha. Check my blog out! Give your comment freely, cause I need it. Enjoy :D